Kemarin saya baru saja nonton film Ayat-ayat Cinta. Film yang heboh gara-gara dibajak orang. Heboh juga karena banyak tokoh-tokoh nasional yang ikut nonton film ini dan kasih komentar yang positif. Kalau pengin lihat trailler-nya di sini.
Cerita dalam film ini didasarkan pada novel karya Habiburrahman al-Shirazy, yang menurut Isnan adalah alumnus al-Azhar. Novel ini banya dipuji karena memang bagus dilihat dari semua aspek katanya. Saya sendiri belum sempat membacanya. Jadi saya tidak tahu aspek apa yang membuat novel ini bagus. Saya hanya melihat film-nya saja.
Menurutku sih, biasa saja (barangkali aku yang bodoh, nggak bisa melihat intan di bebatuan...). Temanya juga merupakan isu yang sudah terlalu lama dibicarakan umat Islam se-Indonesia -tentang cinta dan kemanusiaan, hubungan Islam dengan pemeluk agama lain dan isu yang paling menarik; poligami! Setting dan penggarapan film ini biasa juga. Tapi bagus-lah untuk ukuran film Indonesia sekarang ini yang bersetting di mall-mall, kampus atau tempat nongkrong anak-anak muda, rumah besar kayak istana atau di kampung yang benar-benar terisolasi dan jauh dari modernitas.
Latar belakang sosiologis dari jalan cerita film ini berada di Mesir dan kehidupan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas al-Azhar, Kairo. Inilah yang membedakan AAC dengan film-film lain yang bersetting di luar negeri seperti Eivel I'm in Love atau lainnya. Latar belakang sosiologis yang seperti ini tentu saja lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang -lebih banyak yang menyekolahkan anak-nya ke al-Azhar daripada merantau ke Paris- mayoritas Muslim.
Juga karena film ini menceritakan isu yang sudah lama menjadi wacana di masyarakat. Tema hubungan agama Islam dan kaum Muslim terhadap pemeluk agama lain sudah lama dibicarakan orang bahkan sejak Imam Samudera dan orang-orang yang dicap teroris belum terlahir di Indonesia. Tema poligami juga sudah lama terjadi dan menjadi bahan diskusi yang tak ada habisnya, apalagi dihadapkan dengan cinta dan hak azasi manusia (baca; perempuan) atau lebih jauh lagi penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Justeru karena tema-tema itu, film ini menjadi menarik untuk ditonton (saya tetap belum bilang film ini bagus!). Kejadian-kejadian di dalamnya seperti terjadi dan menimpa diri kita sendiri atau tetangga kita atau saudara kita atau orang yang kita kenal. Seperti adegan ketika tokoh yang diperankan Zaskia Adya Mecca dianiaya dan diperlakukan seperti babu oleh seorang lelaki Arab yang ternyata germo. Lalu coba dijual sebagai pemuas nafsu di tempat pelacuran. Dan upaya Fahri untuk menolongnya keluar dari cengkeraman si mucikari yang semua itu dilakukannya hanya karena “aku tidak tahan mendengar perempuan menangis”, katanya. Atau dilema yang dialami oleh Fahri -sebagai seorang Muslim moderat yang sangat humanis- harus melakukan poligami. Barangkali ini yang bikin Pak Habibie sampai terharu katanya, waktu diwawancarai infotainment setelah menonton film ini.
Sekali lagi saya tetap belum bilang film ini bagus karena banyak diantara adegan-adegan itu seperti tidak masuk akal, seperti polisi Mesir yang pintar dan sangat lancar berbahasa Indonesia, persidangan tindak kriminal yang sepenuhnya berbahasa Indonesia dan gang kumuh yang sempit di sudut kota Kairo yang dipenuhi orang berjualan tapi tidak terdengar satupun teriakan pedagang dalam bahasa Arab.
Musik-nya yang bagus. Melly Goeslaw memang bertangan dingin dalam membuat lagu thema untuk film. Musik dalam film ini tidak terjebak menjadi sekedar pemanis atau hiasan. Tapi juga menempati kedudukan sebagai salah satu pembawa misi dan penutur pesan yang ingin disampaikan oleh AAC.
Lalu apa sih sebenarnya yang ingin disampaikan oleh film ini? Kekuatan cinta! Klise benar bukan?
Barangkali, lho. saya kan hanya menebak-nebak saja. Coba saja anda perhatikan, Maria yang sakit keras dan sudah hampir mati saja bisa hidup dan sembuh kembali karena cintanya pada Fahri. Dan membebaskan Fahri dari penjara. Bahkan ia sanggup menjadi istri kedua Fahri, meski keputusan itu diambil dengan berat hati dan pengorbanan yang teramat berat.
Dalam melukiskan besarnya pengorbanan cinta Maria ini, sutradara film ini bekerja sangat bagus. Great job! mas Hanung Bramantyo. Barangkali mungkin bisa terkesan lebih dramatis lagi seandainya Maria dulunya adalah seorang biarawati atau paling tidak aktifis gereja. Barangkali.
Tapi tunggu dulu, itu merupakan pengamatan saya pribadi yang tak punya bekal apapun di bidang sinematografi. Saya hanya mencoba mengeluarkan apa yang mungkin dipikirkan oleh penonton seperti saya, setelah keluar dari gedung bioskop. Saya juga belum pernah bepergian ke Kairo, Mesir tempat terjadinya segala adegan dalam film ini. Apalagi kuliah di al-Azhar, menghadap Syech untuk curhat dan berdiskusi mengenai kehidupan pribadi saya. Saya belum pernah. Tapi saya punya beberapa teman yang kuliah di sana. Dan dari cerita teman-teman saya itu, saya membayangkan kehidupan di al-Azhar sana kemudian membandingkannya dengan adegan-adegan yang digambarkan dalam film AAC. Maka tentu saja itu -pengalaman teman-teman saya itu- tidak dapat digunakan sebagai referensi dalam menulis sebuah kritik film.
Maafkan saya... aya' aya' wae