Friday, March 14, 2008

Ayat-ayat Cinta... Aya' Aya' Wae

Kemarin saya baru saja nonton film Ayat-ayat Cinta. Film yang heboh gara-gara dibajak orang. Heboh juga karena banyak tokoh-tokoh nasional yang ikut nonton film ini dan kasih komentar yang positif. Kalau pengin lihat trailler-nya di sini.

Cerita dalam film ini didasarkan pada novel karya Habiburrahman al-Shirazy, yang menurut Isnan adalah alumnus al-Azhar. Novel ini banya dipuji karena memang bagus dilihat dari semua aspek katanya. Saya sendiri belum sempat membacanya. Jadi saya tidak tahu aspek apa yang membuat novel ini bagus. Saya hanya melihat film-nya saja.

Menurutku sih, biasa saja (barangkali aku yang bodoh, nggak bisa melihat intan di bebatuan...). Temanya juga merupakan isu yang sudah terlalu lama dibicarakan umat Islam se-Indonesia -tentang cinta dan kemanusiaan, hubungan Islam dengan pemeluk agama lain dan isu yang paling menarik; poligami! Setting dan penggarapan film ini biasa juga. Tapi bagus-lah untuk ukuran film Indonesia sekarang ini yang bersetting di mall-mall, kampus atau tempat nongkrong anak-anak muda, rumah besar kayak istana atau di kampung yang benar-benar terisolasi dan jauh dari modernitas.

Latar belakang sosiologis dari jalan cerita film ini berada di Mesir dan kehidupan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas al-Azhar, Kairo. Inilah yang membedakan AAC dengan film-film lain yang bersetting di luar negeri seperti Eivel I'm in Love atau lainnya. Latar belakang sosiologis yang seperti ini tentu saja lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang -lebih banyak yang menyekolahkan anak-nya ke al-Azhar daripada merantau ke Paris- mayoritas Muslim.

Juga karena film ini menceritakan isu yang sudah lama menjadi wacana di masyarakat. Tema hubungan agama Islam dan kaum Muslim terhadap pemeluk agama lain sudah lama dibicarakan orang bahkan sejak Imam Samudera dan orang-orang yang dicap teroris belum terlahir di Indonesia. Tema poligami juga sudah lama terjadi dan menjadi bahan diskusi yang tak ada habisnya, apalagi dihadapkan dengan cinta dan hak azasi manusia (baca; perempuan) atau lebih jauh lagi penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Justeru karena tema-tema itu, film ini menjadi menarik untuk ditonton (saya tetap belum bilang film ini bagus!). Kejadian-kejadian di dalamnya seperti terjadi dan menimpa diri kita sendiri atau tetangga kita atau saudara kita atau orang yang kita kenal. Seperti adegan ketika tokoh yang diperankan Zaskia Adya Mecca dianiaya dan diperlakukan seperti babu oleh seorang lelaki Arab yang ternyata germo. Lalu coba dijual sebagai pemuas nafsu di tempat pelacuran. Dan upaya Fahri untuk menolongnya keluar dari cengkeraman si mucikari yang semua itu dilakukannya hanya karena “aku tidak tahan mendengar perempuan menangis”, katanya. Atau dilema yang dialami oleh Fahri -sebagai seorang Muslim moderat yang sangat humanis- harus melakukan poligami. Barangkali ini yang bikin Pak Habibie sampai terharu katanya, waktu diwawancarai infotainment setelah menonton film ini.

Sekali lagi saya tetap belum bilang film ini bagus karena banyak diantara adegan-adegan itu seperti tidak masuk akal, seperti polisi Mesir yang pintar dan sangat lancar berbahasa Indonesia, persidangan tindak kriminal yang sepenuhnya berbahasa Indonesia dan gang kumuh yang sempit di sudut kota Kairo yang dipenuhi orang berjualan tapi tidak terdengar satupun teriakan pedagang dalam bahasa Arab.

Musik-nya yang bagus. Melly Goeslaw memang bertangan dingin dalam membuat lagu thema untuk film. Musik dalam film ini tidak terjebak menjadi sekedar pemanis atau hiasan. Tapi juga menempati kedudukan sebagai salah satu pembawa misi dan penutur pesan yang ingin disampaikan oleh AAC.

Lalu apa sih sebenarnya yang ingin disampaikan oleh film ini? Kekuatan cinta! Klise benar bukan?

Barangkali, lho. saya kan hanya menebak-nebak saja. Coba saja anda perhatikan, Maria yang sakit keras dan sudah hampir mati saja bisa hidup dan sembuh kembali karena cintanya pada Fahri. Dan membebaskan Fahri dari penjara. Bahkan ia sanggup menjadi istri kedua Fahri, meski keputusan itu diambil dengan berat hati dan pengorbanan yang teramat berat.

Dalam melukiskan besarnya pengorbanan cinta Maria ini, sutradara film ini bekerja sangat bagus. Great job! mas Hanung Bramantyo. Barangkali mungkin bisa terkesan lebih dramatis lagi seandainya Maria dulunya adalah seorang biarawati atau paling tidak aktifis gereja. Barangkali.

Tapi tunggu dulu, itu merupakan pengamatan saya pribadi yang tak punya bekal apapun di bidang sinematografi. Saya hanya mencoba mengeluarkan apa yang mungkin dipikirkan oleh penonton seperti saya, setelah keluar dari gedung bioskop. Saya juga belum pernah bepergian ke Kairo, Mesir tempat terjadinya segala adegan dalam film ini. Apalagi kuliah di al-Azhar, menghadap Syech untuk curhat dan berdiskusi mengenai kehidupan pribadi saya. Saya belum pernah. Tapi saya punya beberapa teman yang kuliah di sana. Dan dari cerita teman-teman saya itu, saya membayangkan kehidupan di al-Azhar sana kemudian membandingkannya dengan adegan-adegan yang digambarkan dalam film AAC. Maka tentu saja itu -pengalaman teman-teman saya itu- tidak dapat digunakan sebagai referensi dalam menulis sebuah kritik film.

Maafkan saya... aya' aya' wae

Sunday, March 9, 2008

EKSTRIMIS ISLAM DAN SKENARIO BESAR MENYUDUTKAN UMAT ISLAM

Banyak hal yang menyentakkan umat Islam di seluruh dunia akhir-akhir ini. Sejak terekspose-nya karikatur nabi Muhammad SAW., sampai dengan isu terorisme yang telah dihembuskan oleh media-media barat sejak konflik Arab-Israel terbentuk. Kita yang berada di belahan dunia yang jauh dari akar konflik Arab-Israel-pun kadang terhenyak; menyaksikan kebrutalan tentara Israel yang membantai anak-anak dan remaja Palestina, sementara di sisi lain gerilyawan Hezbollah (tentara Allah) terus-menerus menembakkan roket ke pemukiman sipil Israel. Sama-sama brutal? Atau inikah realita perang?

Jika saya menanyakan pada anda tentang perlunya perang ini terjadi barangkali anda akan kesulitan memberikan jawaban yang cerdas. Seperti halnya saya. Tapi biarlah… biar tidak terlalu kelihatan bodo-bodo amat mari kita singkirkan pertanyaan itu dan bikin pertanyaan lain.

Apakah perang itu sengaja diadakan? Dan untuk apa?

Maksud saya begini: apakah gerilyawan Hezbollah itu benar-benar sehebat itu sehingga Israel yang merupakan angkatan bersenjata terkuat di Timur Tengah tak kunjung selesai menuntaskan perlawanannya? Terus dari mana para Gerilyawan itu mendapat supplai senjata? Amunisi? Dana perang? Apakah sumbangan dari negara-negara Islam tetangga-tetangganya? Terus apa untungnya negara-negara itu menyumbang gerombolan milisi yang belum tentu bakal menang?

Barangkali dugaan saya benar, mereka (gerilyawan itu) tidak benar-benar ada. Barangkali orang Israel sendiri yang menembakkan roket-roket itu agar tentara Israel punya alasan yang masuk akal untuk menembakkan rudal-rudal-nya ke Jalur Gaza, demi mengusir warga Arab dan membentuk pemukiman Yahudi sebagai bagian dari skenario zionisme?

Entahlah…

Mendengar kata perang, Israel dan Hezbollah tentu tak akan lepas dari kata ekstremisme Islam. Padahal menurut saya rangkaian kata ekstremisme Islam tidak tepat menggambarkan keadaan di percaturan kehidupan politik Arab-Israel. Saya lebih suka menggunakan kata nasionalisme Arab daripada ekstremisme Islam.

Begini maksud saya, semua bermula dari tekad bangsa Israel yang akan tinggal dan mendirikan negara Israel raya di Jerusalem (zionisme berasal dari kata Tzion yang berarti kota Jerusalem –correct me if I’m wrong). Jika anda googling sedikit dengan kata kunci zionisme pasti akan menemukan bahwa zionisme bukanlah dimulai sejak perang Arab-Israel tahun 1940-an yang membentuk negara Israel, jauh sebelum itu sejak tahuna 1800-an orang-orang Yahudi kaya sudah berusaha membeli tanah-tanah di kota Jerusalem yang dimiliki warga Arab Palestina. Bahkan dengan harga tinggi.

Tapi tampaknya skenario damai ini (dengan cara membeli tanah) tidak membuahkan hasil, dan selanjutnya entah kenapa tiba-tiba terjadilah perang Arab-Israel yang terkenal itu. Dan lahirlah negara Israel yang kita lihat sekarang ini.

Lalu kenapa menjadi nasionalisme Arab? Ide zionisme boleh saja dihembuskan kuat-kuat, boleh saja dianut oleh setengah dari penduduk dunia, boleh saja diajarkan di bangku-bangku sekolah sebagai kurikulum wajib, akan tetapi jangan ambil tanah-tanah di Palestina yang merupakan milik bangsa Arab. Boleh saja orang-orang Israel itu bikin negara seluas apa –mau setengah dari bumi ini, terserah! Tapi jangan di Jerusalem karena itu milik bangsa Arab yang sudah mendiami tempat itu jauh sebelum orang Israel datang. Begitulah paradigma itu meluas di kalangan bangsa Arab, dan itulah yang saya maksudkan dengan nasionalisme Arab.

Lalu kenapa menjadi ekstremisme Islam? Atau radikalisme Islam?

Orang Arab identik dengan Islam. Budaya Arab adalah budaya Islam. Cara hidup Arab adalah cara hidup Islam. Pergaulan Arab adalah pergaulan Islam. Dan paradigma politik bangsa Arab pasti dipengaruhi ajaran Islam. Meskipun tidak seluruhnya benar –bahkan mungkin salah- tapi itulah yang ada dalam pikiran kebanyakan orang non-Arab dan non-Islam. Celakanya kota Jerusalem yang menjadi primadona adalah kota suci umat Islam selain Makkah dan Madinah, bahkan yang bereaksi sangat keras dalam menentang pendudukan Israel adalah orang Arab-Muslim. Maka perjuangan nasionalisme orang Arab yang membela tanah tumpah darahnya menjadi rancu dengan perjuangan kaum agamawan Islam yang mempertahankan kota suci Jerusalem.

Perang selalu membawa kegetiran dan kesedihan dimana-mana. Juga kemarahan dan dendam. Seluruh dunia saya yakin juga mempunyai pemikiran demikian dalam menentang konflik Arab-Israel. Lagi-lagi jari telunjuk dunia seharusnya mengarah ke arah Israel sebagai agresor. Seharusnya kaum zionisme Israel yang disalahkan atas terbunuhnya warga sipil, anak-anak dan kaum wanita. Tapi itu tidak boleh terjadi! Jika itu sampai terjadi maka itu berarti kekalahan Israel.

Sekali lagi itu tidak boleh terjadi!

Israel seolah berkata; korban yang sebegitu banyaknya dikarenakan warga Arab melawan tentara-tentara Israel. Dan kenapa mereka melawan; alasannya satu karena orang-orang Arab itu Islam. Dan Islam mengajarkan peperangan, jihad dan berbunuh-bunuhan. Lihat saja video para martir (pengebom bunuh diri), pasti mereka bersyahadat dan bertakbir dulu sebelum melakukan serangan. Islam (atau Arab) juga tidak toleran karena tidak membiarkan kami mendirikan negara di tanah orang Palestina. Mereka (orang Islam, atau Arab atau Islam begitu saja) tidak mau hidup berdampingan dengan orang Israel di negara Israel bekas tanah mereka.

Maka salahkan Islam karena menyebabkan korban di kalangan anak-anak, wanita dan warga sipil. Salahkan Islam karena membuat perang ini berkepanjangan. Salahkan Islam karena menuntun rudal-rudal Israel ke rumah-rumah orang Arab. Salahkan Islam karena mengajarkan orang mempunyai sikap tak takut mati. Salahkan Islam yang membuat wanita dan anak-anak memasang bahan peledak di rompi mereka dan meledakkannya ketika ada konvoi tentara Israel. Dan sebarkan ke seluruh dunia berita ini. Beri ia judul; ekstremisme Islam!

Begitulah, lalu orang terbius dan mengganggukkan kepala menyadari betapa mengerikannya ajaran Islam itu. Lalu orang mulai sibuk membandingkan Islam dengan agamanya sendiri. Lalu mulailah ia merasa sok pintar. Merasa menemukan sesuatu yang tidak disadari oleh 2 miliyaar teriliyuun (inget Thukul) kepala penganut Islam. Lalu ditularkannya interpretasinya itu kepada tetangga-tetangganya, saudara-saudaranya, teman-teman kerja, pengemis di jalan, pedagang di pasar dan ke seluruh dunia.

Lalu orang mulai meninggalkan Islam. Lalu orang Arab juga. Dan kemenangan nampak di pelupuk mata bangsa zionis.

Sekian.