Wednesday, May 20, 2015

Langgam, Lagu dan Lagak

Nggak setuju ya boleh saja sih. Tapi jangan meng-analogi-kan Qur'an dengan suatu karya seni dong. Dengan sebuah lagu misalnya, kemudian mengatakan, "...memangnya anda bisa nyanyi ini dengan lagu itu?" Ya salah.

Kalau mau berpikir dengan cara itu, selayaknya anda berangkat dari pemahaman bahwa Qur'an itu bukan nyanyian. Ia --dalam genre sastera, masuk ke ranah prosa liris atau syair atau puisi. Jadi jangan bandingkan ia dengan lagu. Lagu adalah kesatuan antara irama, harmoni dan lirik. Jika irama dipisah dari lirik maka jadilah ia lagu lain, yang notabene adalah lagu baru. Baik ia disebut parodi atau interpretasi atau apalah apalah. Demikian pula jika harmoni-nya diganti, lagu baru itu nantinya disebut remix. Singkatnya, dalam sebuah nyanyian anda tak bisa mengganti irama seenak hati anda, atau mengganti syair sesuka anda jika anda ingin menyanyikan sebuah lagu. Kecuali anda ingin meng-cover ulang suatu lagu.

Maka, dalam menginterpretasi sebuah nyanyian anda tak bisa memberi pertanyaan, "bisakah kita nyanyi Indonesia Raya dengan langgam dangdut koplo..?" Ini adalah pertanyaan yang salah. Seperti anda menanyakan, bisakah ayam menggaruk perutnya? Pertama, karena ayam tak punya perut yang bisa gatal dan kedua, ayam tak punya tangan untuk menggaruk. Pertanyaan itu salah logika. Kalaupun anda bisa menyanyi Indonesia Raya dengan langgam koplo, artinya anda sedang menyanyikan lagu yang bukan Indonesia Raya. Bahkan, bukan pula dangdut koplo. Ayam yang bisa menggaruk jidat, pasti bukan ayam.

Masalahnya, di jaman dahulu orang Arab seringkali berlagu dan memberi irama setiap kali membaca syair, menjadi seperti nyanyian. Seperti dalang ketika sedang mengungkapkan prolog atas suatu adegan, maka ia mengucapkan kata-kata syair dengan berlanggam dan berlagu atau biasa disebut kidung. Disini beda syair dan nyanyian jadi setipis kulit bawang. Tapi tetap saja liriknya berdiri sendiri. Tidak menjadi satu kesatuan dengan langgam dan iramanya. Karena di tangan pembawa narasi lain, lagunya bisa saja berbeda, langgamnya bisa saja tak sama, bahkan susunan tangga nadanya mungkin saja lain-lain bergantung interpretasi personal sang narator.

Itulah (sepertinya) beda syair dan nyanyian.

***

Membaca teks-teks Al-qur'an, yang notabene adalah Syair Agung yang mengalahkan semua karya syair lain, kita juga berlagu, berlanggam dan tiap qori' atau pembawa narasi, punya lagak (gaya) masing-masing. Langgam pembacaan Qur'an pada mulanya sangat banyak dan bervariasi hingga akhirnya dibakukan menjadi hanya 7 langgam saja atau biasa disebut qira'ah sab'ah. Langgam-langgam inilah yang dianggap bisa mewakili nuansa sakral dan kesuciannya. Entah kenapa, mungkin karena susunan tangga nada melodinya sangat klasik dan agung hingga membuatnya pantas mengisi relung spiritualitas di hati pendengarnya, atau sebab lain.

Lagu-lagu yang dipergunakan dalam ritual ibadat agama lain pada umumnya juga mempunyai susunan tangga nada yang khas, yang jika kita mendengarnya, seolah terbawa ke dalam nuansa spiritual tertentu. Seperti menumbuhkan kerinduan pada Tuhan, membuat pendengarnya terbawa dalam dinamika suasana yang ho'oh rasanya. Tarekat-tarekat sufi tertentu juga punya nada-nada ritual khusus untuk memicu rasa rindu pada Tuhan. Lagu, susunan nada, langgam dan gaya penuturan teks-teks syair keagamaan sudah baku dan sudah ditetapkan karena dengannya Tuhan serasa lebih dekat di hati umatnya. Lagu dan langgam-nya punya bobot kesakralan yang memadai sebagai sarana peribadatan.

Lalu, bagaimana jika langgam pembacaan ayat-ayat suci dimasuki gaya baru diluar gaya yang 7 macam beserta variasi yang sudah dibakukan itu? Jawaban atas pertanyaan itu tak bisa sesederhana ya dan tidak, boleh atau tak boleh. Harus dikaji secara lebih teliti, apakah langgam baru itu nantinya hanya akan menggerus kesucian dan kesakralan ritual keagamaan  dan menjadikannya sekedar teks profan belaka? Ingat --terlepas dari perdebatan mengenai kualitas hadits-nya, nabi melarang melagukan ayat-ayat al-Qur'an dengan lagu orang fasiq, thus itu adalah langgam profan yang menodai kesucian al-Qur'an kan?

Jadi perbedaan pendapat mengenai boleh atau tak boleh melagukan al-Qur'an dengan langgam Jawa atau langgam nusantara --atau entah nanti jika ada langgam apapun, seyogianya segera mengerucut menjadi perdebatan apakah susunan nada-nada dalam langgam itu mampu menciptakan kerinduan akan Sang Pencipta, mampu membawa suasana hening dan meditatif agar merangsang orang untuk ber-muhasabah, mampu membuat hati pendengarnya bergetar atau tidak. Jika jawabnya tidak itu artinya langgam baru itu hanya akan membuat ayat-ayat al-Qur'an jadi tak sakral, tak suci dan jauh dari nilai religius. Profan belaka dan hanya memuaskan telinga sahaja.

Tapi, di era revolusi mental ('mental' dibaca sedemikian rupa hingga jadi bermakna 'mencelat') begini, siapa yang peduli pada kesakralan?

Tuesday, April 30, 2013

New York Mining Disaster 1941 (Have You Seen My Wife, Mr. Jones?)


New York Mining Disaster 1941. Semula saya kira lagu ini terinspirasi dari bencana alam, seperti tertulis di judulnya. Tapi rupanya --setelah browsing kesana-kemari, tak ada bencana sehebat yang dilukiskan di lagu itu di New York tahun 1941 lebih-lebih bencana di pertambangan. Ya maklumlah, saya memang bukan sejarahwan.

Penciptanya si Barry dan Robin Gibbs cuma bilang bahwa lagu ini mereka tulis waktu mereka duduk di anak tangga di kantor perusahaan rekaman Polydor Records. Waktu itu sedang mati lampu. Tapi lift bisa jalan. Suara lift berjalan, dan gelapnya keadaan waktu itu membawa imajinasi mereka. Mereka membayangkan bagaimana rasanya jika terperangkap dalam lobang pertambangan yang runtuh.

Tapi memang lagu ini bercerita tentang tanah longsor di pertambangan batu bara, bukan di New York dan bukan di tahun 1941. Entah di mana. Menurut catatan di sampul album 'Tales from Brothers Gibb (1990)' lagu ini bercerita tentang bencana pertambangan batu bara di Aberfan, Wales, Inggris tahun 1966.

Liriknya bercerita tentang seorang pekerja tambang yang terjebak di lobang tambang, mencoba menghubungi isterinya melalui seorang teman yang di lagu ini disebut Mr. Jones. Lagu ini memotret keadaan kejiwaan orang yang terkurung dalam goa atau lobang tambang yang runtuh. Sebesar apa harapan mereka untuk keluar dari perangkap maut itu dan seberapa besar ketakutannya. Chorusnya begini, "Have you seen my wife Mr. Jones? Do you know what it's like on the outside? Don't go talking too loud, you'll cause a landslide, Mr. Jones."

"Anda lihat isteri saya pak Jones? Bagaimana rasanya di luar? Jangan bicara terlalu keras, anda bisa menyebabkan longsor pak Jones." Kata pria itu sambil menunjukkan photo isterinya. Miris sekali rasanya. Dari liriknya saja kita dapat menangkap seberapa besar kecemasan pria yang terperangkap tambang runtuh itu. Antara hidup dan mati.

Saya yakin anda juga bisa lihat situasi kejiwaan orang yang terkurung antara hidup dan mati. Tak bisa melakukan apa-apa, bahkan teriak-pun tak bisa karena bisa menyebabkan tanah longsor. Hanya bergantung pada bantuan orang lain, sepenuhnya.

Mungkin Susno Duadji begitu juga. Terkurung di suatu tempat. Bukan tak bisa keluar menghirup udara segar, tapi memang tak mau keluar. Sebab salah langkah di luar, bisa menyebabkannya tertangkap aparat kejaksaan. Ia bisa tertimpa 'tanah runtuh' karenanya.

Antasari Azhar mungkin juga merasakan hal itu. Kalau dia, memang tak bisa keluar. Terkurung di penjara. Memang sedang melakukan langkah-langkah pembelaan diri. Tapi jika salah strategi bisa menyebabkan nasibnya lebih buruk lagi, entah apa itu.

Keduanya, maksud saya ketiganya --Pak Susno, Pak AA dan pekerja tambang itu, sama mengandalkan bantuan Mr. Jones.

Bee Gee's memang hebat.

(Seperti saya tulis juga di www.kompasiana.com)

Tuesday, April 23, 2013

Info Treatment atawa Infotainment.


Info Treatment. Seperti infotainment kedengarannya. Tapi bukan. Info merupakan singkatan dari informasi. Treatment adalah perlakuan atau perawatan. Jadi, apa artinya? Perlakuan terhadap informasi? Atau cara memperlakukan informasi?

Sulit memang membicarakan definisi-definisi jika tak beri contoh. Begini, bagi anda yang mengikuti berita-berita terkini –mengenai apa saja, pasti pernah menemui suatu keadaan dimana anda terpaksa berguman ‘oh, rupanya begini..’ ‘oh, jadi dia ya…’ Kita bertambah tahu dari hari ke hari. Ada aliran informasi yang masuk ke otak kita, setiap hari.

Iya, saya katakan barusan ‘mengalir.’ Bukan jatuh seketika, sekaligus secara utuh; informasi datang mengalir sedikit demi sedikit –meski tidak selalu yang datang belakangan merupakan tambahan terhadap yang datang dulu karena bisa jadi yang datang terakhir adalah ralat atau konfirmasi saja atau sekedar menguatkan informasi yang datang duluan.

Melihat berita selebritis yang tiba-tiba berperang di Pengadilan Agama misalnya, banyak dari kita yang lalu berkata “Oh..! padahal kayaknya nggak gitu ya…” atau “Wah.. padahal mereka terlihat mesra lho..” dengan mulut melongo. Terhenyak. Itu adalah bukti bahwa otak kita punya asumsi yang berbeda dibanding guyuran informasi yang datang belakangan. Dalam hal ini saya anggap informasi yang terakhir adalah fakta baru. Atau –jika itu bukan fakta, anggap saja pengetahuan baru.

Menariknya, arus informasi itu kadang bisa merubah paradigma kita. Banyak ahli komunikasi yang terus terang beranggapan bahwa pola pikir orang itu bisa dirubah, bahkan dikendalikan dengan guyuran informasi yang dilakukan terus-menerus. Ingat Susno Duadji? Semula kita beranggapan beliau ini kontra terhadap pemberantasan korupsi. Itu karena informasi yang sampai di otak kita adalah komentar-komentar beliau mengenai KPK vs Polri, cicak dan buaya, serangannya pada ketua KPK waktu itu dan lain sebagainya yang mengesankan begitu. Curahan informasi yang datang kemudian seperti meralat atau memperbaiki posisi Susno di dalam peta berpikir kita. Bahwa orang ini merupakan whistle blower yang berani menyuarakan korupsi atasannya, mengkorek-korek keberadaan makelar kasus, hingga kita jadi menepuk jidat lalu berkata, “oh, rupanya begitu toh?” atau setidaknya meragukan pengetahuan lama kita dengan kalimat, “lho, katanya kemarin begini kok sekarang begitu?”

Apa yang terjadi pada Anas Urbaningrum merupakan contoh yang bagus untuk dipelajari. Banyak orang kagum pada orang ini. Anak muda yang dibesarkan oleh organisasi mahasiswa saja mampu masuk ke kancah politik di partai terbesar negeri ini, mengalahkan dua lawan lainnya –yang satu didukung ketua dewan pembina dan satu lagi lebih senior di dunia politik. Tak ada yang menduga. Semua pengamat kagum, bahkan ada yang menilai Anas adalah calon pemimpin masa depan. Semacam Satrio Piningit dalam mitologi Jawa.
Tapi keadaan sedikit bergeser semenjak Nazaruddin, pembantu dekatnya tertangkap KPK karena kasus korupsi. Nazarudin bernyanyi bahwa bukan cuma dirinya yang menikmati uang haram. Anas juga. Info yang terakhir ini begitu deras diguyurkan ke kepala kita. Terakhir bahkan sprindik KPK yang entah bocor, entah ‘dibocorkan’ untuk menambah bukti bahwa kata-kata Nazarudin ini tidak sepenuhnya salah. Semantara kita cuma bisa menghela napas lalu berkata “oh, ternyata..!”

Sang pemimpin masa depan itu sekarang adalah tersangka tindak kejahatan. Si Satrio Piningit itu sebentar lagi menjadi pesakitan. Sekali lagi, informasi telah melakukan tugasnya; men-dekontruksi paradigma.
Nah, lo…

Pencitraan. Black campaign. Itu jika yang mengatakan adalah politisi. Padahal pengelolaan informasi itu tidak melulu dilakukan dalam dunia politik. Ekonomi/ bisnis pun begitu. Bahkan di dunia bisnis lebih canggih lagi. Barangkali anda pernah membaca tentang sisi buruk minuman bersoda bermerk asal Amerika? Banyak sekali keburukannya; ada yang pernah membuktikan bahwa minuman itu bisa digunakan sebagai cairan pencuci radiator mobil, untuk mengelupas karat di besi, menghilangkan bunyi decit di engsel pintu dan lain sebagainya. Semua penjelasannya selalu diakhiri dengan pertanyaan, “jadi, masih maukah anda meminum-nya?”

Fakta bahwa minuman bersoda yang segar itu juga merupakan cairan pembersih radiator sengaja diguyurkan ke dalam otak kita untuk merubah paradigma kita bahwa cairan itu bukan minuman. Lebih mirip produk perawatan mobil. Anda masih mau meminum cairan pembersih radiator? Lebih baik anda minum yang merk ini saja. Begitulah intinya. Marketing, mereka bilang.

Kenaikan harga BBM yang terjadi karena pemerintah menarik subsidi BBM adalah contoh lain. Dulunya, pikiran kita menerjemahkan pengurangan subsidi BBM dengan mahalnya harga bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain. Jika itu semua mahal, transprtasi tersendat. Jika transportasi tersendat, dunia industri terhambat lalu harga-harga apa saja jadi lebih mahal. Rakyat kecil semakin susah. Jadi, pengurangan subsidi BBM sama saja mencekik penghasilan rakyat.

Oke, simpan itu dulu. Sekarang pikirkan ini baik-baik. Karena bensin kita murah, kita sering melihat orang menghambur-hamburkan bensin. Sekedar putar-putar kota tak jelas juntrungannya. Liburan seminggu sekali ke luar kota. Anaknya merengek minta keliling komplek naik motor. Yang lebih ngeri lagi; remaja-remaja memboroskan bensin untuk kebut-kebutan, bertaruh nyawa.

Itu semua dilakukan dengan bensin bersubsidi atau dibiayai pemerintah. Bayangkan geng motor itu merampok mini market, lalu lari membawa jarahannya naik motor dan bensin mereka sebagian dibiayai pemerintah –yang notabene adalah uang pajak anda juga? Bayangkan ada seorang kecil menangis tak mau makan lalu bapaknya terpaksa mengajaknya keliling komplek naik motor agar mau makan? Anda rela uang pajak anda dipakai beli bensinnya? Sementara di ujung negeri, ada anak kecil yang untuk makan saja harus menangis-nangis? Bayangkan ada rombongan remaja yang menyewa mobil untuk pelesir entah kemana, mabuk-mabukan dan hura-hura tak karuan, dan anda ikut membelikan mereka bensin?

Bagaimana paradigma anda sekarang mengenai subsidi BBM? Jika cara pandang anda sudah berubah, anda sedang menikmati ‘info treatment.’ Anda sedang mendapatkan ‘perawatan berbasis informasi.’ Padahal fakta tentang BBM ini sudah berlangsung sejak lama, cuma informasinya saja kadang tertutup oleh bayangan kenakalan oknum birokrat. Dan tiap kali pemerintah ingin menaikkan harga BBM kita protes sampai berkelahi melawan polisi? Kini, saya tak yakin jika anda masih tetap ingin berkelahi membela subsidi BBM.
Wallahu a’lam.

(Sebagaimana saya tulis juga di www.kompasiana.com )