Info Treatment. Seperti infotainment kedengarannya. Tapi bukan. Info merupakan singkatan dari informasi. Treatment adalah perlakuan atau perawatan. Jadi, apa artinya? Perlakuan terhadap informasi? Atau cara memperlakukan informasi?
Sulit memang membicarakan definisi-definisi jika tak beri contoh. Begini, bagi anda yang mengikuti berita-berita terkini –mengenai apa saja, pasti pernah menemui suatu keadaan dimana anda terpaksa berguman ‘oh, rupanya begini..’ ‘oh, jadi dia ya…’ Kita bertambah tahu dari hari ke hari. Ada aliran informasi yang masuk ke otak kita, setiap hari.
Iya, saya katakan barusan ‘mengalir.’ Bukan jatuh seketika, sekaligus secara utuh; informasi datang mengalir sedikit demi sedikit –meski tidak selalu yang datang belakangan merupakan tambahan terhadap yang datang dulu karena bisa jadi yang datang terakhir adalah ralat atau konfirmasi saja atau sekedar menguatkan informasi yang datang duluan.
Melihat berita selebritis yang tiba-tiba berperang di Pengadilan Agama misalnya, banyak dari kita yang lalu berkata “Oh..! padahal kayaknya nggak gitu ya…” atau “Wah.. padahal mereka terlihat mesra lho..” dengan mulut melongo. Terhenyak. Itu adalah bukti bahwa otak kita punya asumsi yang berbeda dibanding guyuran informasi yang datang belakangan. Dalam hal ini saya anggap informasi yang terakhir adalah fakta baru. Atau –jika itu bukan fakta, anggap saja pengetahuan baru.
Menariknya, arus informasi itu kadang bisa merubah paradigma kita. Banyak ahli komunikasi yang terus terang beranggapan bahwa pola pikir orang itu bisa dirubah, bahkan dikendalikan dengan guyuran informasi yang dilakukan terus-menerus. Ingat Susno Duadji? Semula kita beranggapan beliau ini kontra terhadap pemberantasan korupsi. Itu karena informasi yang sampai di otak kita adalah komentar-komentar beliau mengenai KPK vs Polri, cicak dan buaya, serangannya pada ketua KPK waktu itu dan lain sebagainya yang mengesankan begitu. Curahan informasi yang datang kemudian seperti meralat atau memperbaiki posisi Susno di dalam peta berpikir kita. Bahwa orang ini merupakan whistle blower yang berani menyuarakan korupsi atasannya, mengkorek-korek keberadaan makelar kasus, hingga kita jadi menepuk jidat lalu berkata, “oh, rupanya begitu toh?” atau setidaknya meragukan pengetahuan lama kita dengan kalimat, “lho, katanya kemarin begini kok sekarang begitu?”
Apa yang terjadi pada Anas Urbaningrum merupakan contoh yang bagus untuk dipelajari. Banyak orang kagum pada orang ini. Anak muda yang dibesarkan oleh organisasi mahasiswa saja mampu masuk ke kancah politik di partai terbesar negeri ini, mengalahkan dua lawan lainnya –yang satu didukung ketua dewan pembina dan satu lagi lebih senior di dunia politik. Tak ada yang menduga. Semua pengamat kagum, bahkan ada yang menilai Anas adalah calon pemimpin masa depan. Semacam Satrio Piningit dalam mitologi Jawa.
Tapi keadaan sedikit bergeser semenjak Nazaruddin, pembantu dekatnya tertangkap KPK karena kasus korupsi. Nazarudin bernyanyi bahwa bukan cuma dirinya yang menikmati uang haram. Anas juga. Info yang terakhir ini begitu deras diguyurkan ke kepala kita. Terakhir bahkan sprindik KPK yang entah bocor, entah ‘dibocorkan’ untuk menambah bukti bahwa kata-kata Nazarudin ini tidak sepenuhnya salah. Semantara kita cuma bisa menghela napas lalu berkata “oh, ternyata..!”
Sang pemimpin masa depan itu sekarang adalah tersangka tindak kejahatan. Si Satrio Piningit itu sebentar lagi menjadi pesakitan. Sekali lagi, informasi telah melakukan tugasnya; men-dekontruksi paradigma.
Sang pemimpin masa depan itu sekarang adalah tersangka tindak kejahatan. Si Satrio Piningit itu sebentar lagi menjadi pesakitan. Sekali lagi, informasi telah melakukan tugasnya; men-dekontruksi paradigma.
Nah, lo…
Pencitraan. Black campaign. Itu jika yang mengatakan adalah politisi. Padahal pengelolaan informasi itu tidak melulu dilakukan dalam dunia politik. Ekonomi/ bisnis pun begitu. Bahkan di dunia bisnis lebih canggih lagi. Barangkali anda pernah membaca tentang sisi buruk minuman bersoda bermerk asal Amerika? Banyak sekali keburukannya; ada yang pernah membuktikan bahwa minuman itu bisa digunakan sebagai cairan pencuci radiator mobil, untuk mengelupas karat di besi, menghilangkan bunyi decit di engsel pintu dan lain sebagainya. Semua penjelasannya selalu diakhiri dengan pertanyaan, “jadi, masih maukah anda meminum-nya?”
Fakta bahwa minuman bersoda yang segar itu juga merupakan cairan pembersih radiator sengaja diguyurkan ke dalam otak kita untuk merubah paradigma kita bahwa cairan itu bukan minuman. Lebih mirip produk perawatan mobil. Anda masih mau meminum cairan pembersih radiator? Lebih baik anda minum yang merk ini saja. Begitulah intinya. Marketing, mereka bilang.
Kenaikan harga BBM yang terjadi karena pemerintah menarik subsidi BBM adalah contoh lain. Dulunya, pikiran kita menerjemahkan pengurangan subsidi BBM dengan mahalnya harga bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain. Jika itu semua mahal, transprtasi tersendat. Jika transportasi tersendat, dunia industri terhambat lalu harga-harga apa saja jadi lebih mahal. Rakyat kecil semakin susah. Jadi, pengurangan subsidi BBM sama saja mencekik penghasilan rakyat.
Oke, simpan itu dulu. Sekarang pikirkan ini baik-baik. Karena bensin kita murah, kita sering melihat orang menghambur-hamburkan bensin. Sekedar putar-putar kota tak jelas juntrungannya. Liburan seminggu sekali ke luar kota. Anaknya merengek minta keliling komplek naik motor. Yang lebih ngeri lagi; remaja-remaja memboroskan bensin untuk kebut-kebutan, bertaruh nyawa.
Itu semua dilakukan dengan bensin bersubsidi atau dibiayai pemerintah. Bayangkan geng motor itu merampok mini market, lalu lari membawa jarahannya naik motor dan bensin mereka sebagian dibiayai pemerintah –yang notabene adalah uang pajak anda juga? Bayangkan ada seorang kecil menangis tak mau makan lalu bapaknya terpaksa mengajaknya keliling komplek naik motor agar mau makan? Anda rela uang pajak anda dipakai beli bensinnya? Sementara di ujung negeri, ada anak kecil yang untuk makan saja harus menangis-nangis? Bayangkan ada rombongan remaja yang menyewa mobil untuk pelesir entah kemana, mabuk-mabukan dan hura-hura tak karuan, dan anda ikut membelikan mereka bensin?
Bagaimana paradigma anda sekarang mengenai subsidi BBM? Jika cara pandang anda sudah berubah, anda sedang menikmati ‘info treatment.’ Anda sedang mendapatkan ‘perawatan berbasis informasi.’ Padahal fakta tentang BBM ini sudah berlangsung sejak lama, cuma informasinya saja kadang tertutup oleh bayangan kenakalan oknum birokrat. Dan tiap kali pemerintah ingin menaikkan harga BBM kita protes sampai berkelahi melawan polisi? Kini, saya tak yakin jika anda masih tetap ingin berkelahi membela subsidi BBM.
Pencitraan. Black campaign. Itu jika yang mengatakan adalah politisi. Padahal pengelolaan informasi itu tidak melulu dilakukan dalam dunia politik. Ekonomi/ bisnis pun begitu. Bahkan di dunia bisnis lebih canggih lagi. Barangkali anda pernah membaca tentang sisi buruk minuman bersoda bermerk asal Amerika? Banyak sekali keburukannya; ada yang pernah membuktikan bahwa minuman itu bisa digunakan sebagai cairan pencuci radiator mobil, untuk mengelupas karat di besi, menghilangkan bunyi decit di engsel pintu dan lain sebagainya. Semua penjelasannya selalu diakhiri dengan pertanyaan, “jadi, masih maukah anda meminum-nya?”
Fakta bahwa minuman bersoda yang segar itu juga merupakan cairan pembersih radiator sengaja diguyurkan ke dalam otak kita untuk merubah paradigma kita bahwa cairan itu bukan minuman. Lebih mirip produk perawatan mobil. Anda masih mau meminum cairan pembersih radiator? Lebih baik anda minum yang merk ini saja. Begitulah intinya. Marketing, mereka bilang.
Kenaikan harga BBM yang terjadi karena pemerintah menarik subsidi BBM adalah contoh lain. Dulunya, pikiran kita menerjemahkan pengurangan subsidi BBM dengan mahalnya harga bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain. Jika itu semua mahal, transprtasi tersendat. Jika transportasi tersendat, dunia industri terhambat lalu harga-harga apa saja jadi lebih mahal. Rakyat kecil semakin susah. Jadi, pengurangan subsidi BBM sama saja mencekik penghasilan rakyat.
Oke, simpan itu dulu. Sekarang pikirkan ini baik-baik. Karena bensin kita murah, kita sering melihat orang menghambur-hamburkan bensin. Sekedar putar-putar kota tak jelas juntrungannya. Liburan seminggu sekali ke luar kota. Anaknya merengek minta keliling komplek naik motor. Yang lebih ngeri lagi; remaja-remaja memboroskan bensin untuk kebut-kebutan, bertaruh nyawa.
Itu semua dilakukan dengan bensin bersubsidi atau dibiayai pemerintah. Bayangkan geng motor itu merampok mini market, lalu lari membawa jarahannya naik motor dan bensin mereka sebagian dibiayai pemerintah –yang notabene adalah uang pajak anda juga? Bayangkan ada seorang kecil menangis tak mau makan lalu bapaknya terpaksa mengajaknya keliling komplek naik motor agar mau makan? Anda rela uang pajak anda dipakai beli bensinnya? Sementara di ujung negeri, ada anak kecil yang untuk makan saja harus menangis-nangis? Bayangkan ada rombongan remaja yang menyewa mobil untuk pelesir entah kemana, mabuk-mabukan dan hura-hura tak karuan, dan anda ikut membelikan mereka bensin?
Bagaimana paradigma anda sekarang mengenai subsidi BBM? Jika cara pandang anda sudah berubah, anda sedang menikmati ‘info treatment.’ Anda sedang mendapatkan ‘perawatan berbasis informasi.’ Padahal fakta tentang BBM ini sudah berlangsung sejak lama, cuma informasinya saja kadang tertutup oleh bayangan kenakalan oknum birokrat. Dan tiap kali pemerintah ingin menaikkan harga BBM kita protes sampai berkelahi melawan polisi? Kini, saya tak yakin jika anda masih tetap ingin berkelahi membela subsidi BBM.
Wallahu a’lam.
(Sebagaimana saya tulis juga di www.kompasiana.com )
No comments:
Post a Comment